Medan, apacerita.id – Ahli Pidana Perbankan Dr Panca Putra SH MH mengatakan penjual objek perkara termasuk tanah dan barang tidak bisa
dimintai pertanggung jawabannya secara hukum jika pembeli mengalami permasalahan di bank.
Alasannya, barang atau tanah yang sudah dijual menjadi tanggungjawab pembeli walau barang atau tanah tersebut belum balik nama kepada pembeli.
Hal itu dikatakan Panca Putra sebagai saksi ahli yang diajukan Tim Penasihat Hukum terdakwa Direktur PT Agung Cemara Realty (ACR) Mujianto dalam sidang lanjutan perjara kredit macet Rp 39,5 miliar di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (26/0/2022).
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum ( JPU) Isnayanda, dkk dari Kejaksaan Tinggi Sumut mendakwa Mujianto turut serta menyebabkan debitur Canakya Suman selaku Direktur Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA) gagal bayar kredit di bank pemerintah di Medan. JPU mendalilkan yang menjadi agunan di bank tersebut masih Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik PT ACR yang masih jadi agunan di bank lain yakni Bank Sumut.
Menurut Panca, masalah balik nama terhadap tanah yang sudah dijual adalah masalah administrasi saja bukanlah suatu perbuatan melawan hukum .
“Kalau pembeli pinjam kredit mengagunkan tanah yang masih atas nama pemilik yang lama, apakah penjual bisa dimintai pertanggungjawaban?. Jawabannya tidak bisa,” ujar doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) itu mencontohkan.
Apalagi, katanya kalau penjual sudah membuat Surat Pelepasan Hak, Surat Kuasa Menjual (SKM), Pelunasan dan Hak Tanggungan (HT) bahkan ada yang sudah balik nama, maka secara hukum telah terjadi peralihan hak dari penjual dan pembeli. “Artinya telah terputusnya hubungan hukum antara penjual dan pembeli,” jelasnya
Ditanya Penasihat Hukum terdakwa Surepno Sarpan tentang dakwaan JPU bahwa debitur Canakya Suman telah menyalahi prosedur dalam pemberian kredit yang semula diperuntukan sebagai Kredit Modal Kontruksi (KMK). Tapi dipergunakan debitur untuk membayar hutangnya di Bank Sumut dalam pembelian tanah. “Apakah itu termasuk menyalahi prosedur,” tanya Sarpan.
Panca mendalilkan bahwa didalam
UU No. 28 Tahun 2002 dan UU No. 11 Tahun 2022 tentang Ciptakerja jelas dinyatakan bahwa tanah termasuk bagian dari perencanaan kontruksi.
“Jadi tanah tersebut bagian dari kontruksi, sehingga uang yang seharusnya untuk kontruksi bisa dipergunakan untuk membayar pembelian tanah,” ujar Panca.
Ditanya agunan debitur masih atas nama penjual, bisakah penjual bisa dimintai bertanggungjawab secara hukum? Sekali lagi menurut Panca penjual tidak bisa dimintai pertanggung jawaban secara hukum, karena telah terjadi peralihan hak kepada pembeli.
Aktual Lost, Bukan Total Lost
Begitu juga tentang kerugian perhitungan total lost yang dilakukan BPKP Sumut dalam perkara kredit macet Rp 39,5 miliar, menurut Dosen Fakultas Hukum UISU itu sangat bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 25 Tahun 2016 yang menghendaki perhitungan keuangan negara secara aktual lost bukan total lost.
Pertimbangannya, penerapan unsur kerugian negara sudah bergeser kepada akibat, tidak lagi hanya kepada perbuatan sehingga tercapainya kepastian dan keadilan bagi seorang yang didakwakan.
Menurutnya, metode aktual lost itu, auditor harus mempertimbangkan juga Jumlah uang yang sudah dibayarkan, maka harus dikurangkan dengan jumlah kredit nya.
Bukan seperti perhitungan yang dilakukan BPKP Sumut yang menyebutkan proses pemberian kredit dianggap tidak ada sehingga timbulnya kerugian negara Rp 39,5 miliar tanpa mempertimbangkan jumlah uang yang telah dibayarkan debitur.
“Kalau perhitungan BPKP Sumut itu tetap dipertahankan, dzolim namanya,” ujar doktor hukum itu
Selain itu, kata Panca sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2016 yang berhak menghitung kerugian negara adalah BPK bukan BPKP. Namun begitu, katanya Hakim bisa melakukan perhitungan sendiri kerugian negara tersebut berdasarkan fakta di persidangan
Ranah Perbankan
Panca menilai kasus kredit macet yang melibatkan Mujianto cendrung masalah perbankan. Apalagi didahului kesalahan prosedur dan kredit macet. Tentu bisa dilakukan Tim Penyelamatan kredit, agunan debitur bisa dilakukan lelang eksekusi untuk menutupi tunggakan kredit debitur.
“Jadi lebih tepat diterapkan UU Perbankan daripada UU Tipikor karena pelanggaran lebih mengarah kepada perbankan,” terangnya.
“Bagaimana JPU tetap mendakwakan Mujianto pasal 2, dan 3 UU Tipikor jo pasal 5 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” tanya Sarpan.
Menurut Panca, dakwaan JPU tersebut tidak tepat diterapkan kepada Mujianto, karena pelaku utama masih dan belum disidangkan. Sedangkan pasal itu diperuntukkan kepada pelaku aktif bukan pasif.
“Saya rasa sulit JPU menerapkan pasal 5 kepada terdakwa Mujianto. Sedangkan pelaku utamanya saja belum ada yang dihukum,” jelas Dr Panca.
Sementara JPU Isnayanda merasa keberatan atas kehadiran saksi ahli sehingga tidak mengajukan pertanyaan lagi
Sebelumnya terdakwa Mujianto mengaku tidak tahu menahu soal proses kredit yang diajukan Canakya Suman Direktur PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA) Rp 39,5 miliar di sebuah bank pemerintah yang akhirnya menjadi bermasalah.
“Saya tidak tau proses dan penggunaan kredit yang dimohonkan Canakya Suman,” kata Mujianto dalam pemeriksaan terdakwa dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan diketuai Immanuel Tarigan, Jaksa Penuntut Umum ( JPU) Isnayanda, dkk serta Surepno Sarpan, Penasihat Hukum Mujianto, Rabu ( 19/10/2022)
Menurut Mujianto, Canakya baru dikenalnya melalui perantara marketing PT ACR. Saat itu Canakya berniat membeli tanah PT ACR seluas 16.000 m2 senilai Rp 45 miliar dengan cara mencicil. Tapi belakangan hutang Canakya tersebut sudah dibayar lunas dan Mujianto pun telah menyerahkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No 1422 sebagai dasar kepemilikan.
Mujianto melanjutkan, belakangan baru diketahui bahwa Canakya rupanya telah mengajukan kredit Rp 39,5 miliar di bank BUMN di Medan untuk melanjutkan pembangunan perumahan Takapuna Residen di Jalan Kapten Sumarsono Medan. Tapi Canakya akhirnya tersandung masalah hukum karena tak mampu melunasi sisa hutangnya mencapai Rp 14,7 miliar.
“Saya baru tau semuanya, setelah Canakya diproses hukum pak hakim,” ujar Mujianto yang saat itu mengenakan kemeja putih dan celana hitam tersebut.
Ternyata 93 SHGB PT ACR dijadikan agunan Canakya dan belum dibalik nama ke PT KAYA untuk mendapatkan kredit Rp 39,5 miliar. Padahal dari pencairan kredit Canakya tersebut, Mujianto mengaku tidak mendapatkan fee atau keuntungan.
Tapi Mujianto mengakui Canakya telah membayar seluruh hutang pembelian tanah PT ACR yakni Rp 13,4 miliar melalui Bank Sumut dan Rp 9,8 miliar melalui Bank Mestika.
“Itu pun saya tau setelah adanya proses hukum yang melilit Canakya,” ujar orang pertama di PT ACR tersebut.
Ditanya JPU Isnayanda, kenapa Mujianto masih “membantu” Canakya seperti membuat Surat Kuasa Menjual ( SKM) dan Personal Garantie (PG), menurut Mujianto bahwa dokumen surat tersebut tak seluruhnya dimengerti maksud dan tujuannya.
Sebenarnya Mujianto berinisiatif menanggulangi kredit macet Canakya Suman yang tersisa Rp 13,4 miliar tersebut. Hanya saja, kata Mujianto terlalu banyak persoalan Canakya dengan pembeli rumah. “Kalau kredit macet ini saya tutupi akan muncul persoalan baru lagi,” ujarnya.
Pada persidangan terdakwa Mujianto sepekan lalu, saksi Canakya membeberkan niatnya untuk melunasi hutangnya dengan cara mencicil.
“Saya berniat mencicil tapi pihak bank tidak mau,” ujar Canakya Suman yang dihadirkan secara virtual dari balik jeruji Rutan Tanjung Gusta Medan.
Menurut Canakya, dirinya tak mampu membayar hutangnya karena keburu berada didalam tahanan.”Saya tak mampu berusaha lagi selama dalam tahanan,” ujarnya. Canakya Suman sebelumnya divonis 4 tahun penjara karena menggelapkan SHGB yang menjadi agunan di bank dan kini tersandung korupsi Rp 39,5 miliar. (nz)