JAKARTA, APACERITA – Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI) secara tegas meminta DPR dan pemerintah untuk segera menghentikan proses revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang saat ini tinggal menunggu pengesahan dalam sidang paripurna DPR. DGB UI menilai, revisi ini tidak hanya mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas hukum dan kewibawaan negara.
Ketua DGB UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, dalam pernyataan sikap yang disampaikan pada Kamis (22/8/2024), mengkritik keras langkah DPR yang tetap melanjutkan revisi UU Pilkada meskipun ada dua putusan MK yang baru saja dikeluarkan, yaitu Putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70. “Pembahasan revisi UU Pilkada yang mengabaikan putusan MK ini jelas mencederai sikap kenegarawanan yang seharusnya dimiliki oleh para wakil rakyat,” kata Harkristuti.
DGB UI, yang diwakili lebih dari 60 guru besar dari berbagai bidang keilmuan, menyatakan bahwa tindakan DPR ini berpotensi menimbulkan konflik antarlembaga tinggi negara. Hal ini, menurut mereka, bisa mengarah pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan hukum. “Konsekuensinya adalah runtuhnya kewibawaan negara dan lembaga-lembaga tinggi, serta merosotnya kepercayaan masyarakat,” tambahnya.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh Harkristuti, DGB UI mengajukan empat tuntutan utama kepada DPR dan pemerintah:
- Menghentikan Revisi UU Pilkada
DGB UI mendesak agar revisi UU Pilkada segera dihentikan, dan meminta para pembuat undang-undang untuk bertindak dengan arif, adil, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan. - Pelaksanaan Putusan MK oleh KPU
Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta segera melaksanakan dua putusan MK terbaru terkait Pilkada, untuk memastikan proses pemilihan kepala daerah berlangsung sesuai dengan konstitusi. - Dukungan Penuh terhadap Negara dalam Menjalankan Konstitusi
DGB UI mengingatkan bahwa negara harus didukung penuh untuk tetap menjalankan konstitusi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. - Kedaulatan Rakyat Berlandaskan Pancasila
Mereka menegaskan bahwa kedaulatan rakyat harus tetap berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara.
Prof. Harkristuti juga mengkritik langkah DPR yang dinilai mengingkari sumpah jabatan mereka sebagai wakil rakyat. Menurutnya, para anggota dewan yang seharusnya mengawal dan menjamin keberlangsungan reformasi justru berkhianat dengan menolak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. “Putusan MK bersifat final dan mengikat bagi semua pihak, termasuk lembaga tinggi negara,” tegasnya.
Dalam pernyataan sikap tersebut, sejumlah guru besar UI lainnya turut memberikan dukungan. Di antaranya adalah Prof. Indang Trihandini, Prof. Siti Setiati, Prof. Bambang PS Brodjonegoro, dan Prof. dr. Budi Sampurna. Mereka semua sepakat bahwa revisi UU Pilkada yang diusulkan oleh DPR merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan demokrasi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun.
Para guru besar ini juga menegaskan bahwa langkah DPR untuk merevisi UU Pilkada bisa merusak proses demokrasi dan mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara. Mereka berharap para wakil rakyat bisa bertindak dengan lebih bijaksana dan menghentikan revisi UU Pilkada ini demi menjaga integritas hukum dan kewibawaan negara.
Selain Harkristuti, beberapa guru besar lain yang menyetujui pernyataan sikap ini antara lain Prof. Jenny Bashiruddin, Prof. Achmad Fauzi Kamal, Prof. Ismail, Prof. Anton Rahardjo, dan Prof. Mirra Noor Milla. Mereka, bersama dengan puluhan guru besar UI lainnya, menegaskan komitmen mereka untuk terus mengawal demokrasi dan memastikan bahwa kedaulatan rakyat tetap terjaga.
Dari 60 lebih guru besar yang menyetujui pernyataan sikap itu, selain Harkristuti, guru besar lainnya antara lain Prof Indang Trihandini, Prof Siti Setiati, Prof Dr Jenny Bashiruddin, Prof dr Budi Sampurna, Prof Achmad Fauzi Kamal, Prof Ismail, Prof Anton Rahardjo, Prof Sarworini B Budiardjo, Prof Hanna Bachtiar, Prof Decky Joesiana Indriani, Prof Risqa Rina Darwita, Prof Sumi Hudiyono PWS, Prof Titin Siswantining, Prof Azwar Manaf, Prof Ivandini Tribidasari Anggraningrum, Prof Terry Mart, dan Prof Yulianto S Nugroho.
Kemudian, ada Prof Riri Fitri Sar, Prof Isti Surjandari Prajitno, Prof Nandy Setiadi Djaya Putra, Prof Nasruddin, Prof Sulistyowati Suwarno, Prof Ir Ruslan Prijadi, Prof Lindawati Gani, Prof Ratna Wardhani, Prof Sylvia Veronica Nalurita Purnama Siregar, Prof Bambang PS Brodjonegoro, Prof Bambang Wibawarta, Prof Dr Multamia Retno Mayekti Tawangsih, Prof Agus Aris Munandar, Prof Muhammad Luthfi, Prof Maman Lesmana, Prof Mirra Noor Milla, Prof Frieda Maryam Mangunsong Siahaan, Prof Farida Kurniawati, dan Prof Ali Nina Liche Seniati.
Masih ada Prof Adrianus E Meliala, Prof Donna Asteria, Prof Bambang Shergi Laksmono, Prof Valina Singka Subekti, Prof. Soedarsono Hardjosoekarto, Prof. Nurhayati Adnan, Prof Fatma Lestari, Prof Evi Martha, Prof R Budi Haryanto, Prof Wisnu Jatmiko, Prof Indra Budi, Prof Dana Indra Sensuse, Prof Eko Kuswardono Budiardjo, Prof Achir Yani S Hamid, Prof Setyowati, Prof Krisna Yetti, Prof Rr Tutik Sri Hariyati, Prof Yeni Rustina, Prof Hayun, dan Prof Yahdiana Harahap.
Guru besar lain UI yang menyetujui pernyataan sikap itu, yaitu Prof Retnosari Andrajati, Prof Berna Elya, Prof Abdul Mun’im, Prof Eko Prasojo, Prof Irfan Ridwan Maksum, Prof Martani Huseini, Prof Haula Rosdiana, Prof Manneke Budiman, Prof Rosali Saleh, dan Prof Reny Hawari. (nz)