MEDAN, APACERITA — Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan menolak nota keberatan (eksepsi) Bupati Labuhanbatu nonaktif Erik Adtrada Ritonga.
Selain menolak eksepsi Erik, Hakim Ketua As’ad Rahim Lubis juga menolak eksepsi yang diajukan terdakwa Rudi Syahputra selaku mantan anggota DPRD Labuhanbatu dalam kasus dugaan suap pengamanan proyek sebesar Rp4,9 miliar.
Hakim Ketua As’ad Rahim Lubis menyatakan bahwa eksepsi yang diajukan para terdakwa telah memasuki pokok perkara dan surat dakwaan JPU KPK telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b dan ayat (3) KUHPidana.
“Menyatakan keberatan eksepsi yang diajukan para terdakwa tersebut tidak dapat diterima,” tegas Hakim Ketua As’ad dalam membacakan putusan sela di Ruang Sidang Cakra II, Pengadilan Tipikor pada PN Medan, Kamis (20/6).
Selain itu, majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 4 UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka tindakan pra penuntutan dan penuntutan perkara kedua terdakwa yang dilakukan JPU KPK serta Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan mengadili perkara ini. Sehingga keberatan penasihat hukum terdakwa dalam point 3, 4 dan 5, haruslah tidak dapat diterima,” kata Hakim Ketua As’ad Rahim Lubis.
Hakim juga berpendapat dalil keberatan penasihat hukum terdakwa yang mendasarkan alasan keberatan terhadap JPU KPK, karena pada setiap proses penuntutan terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Jaksa Agung melalui delegasi, yang menunjukkan otoritas JPU KPK berada di bawah Jaksa Agung.
“Sementara KPK merupakan lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan, sebagaimana ketentuan Pasal 3 UU Nomor 19 Tahun 2019. Sehingga menjadi tidak logis apabila KPK dalam melakukan tindakan pra penuntutan maupun penuntutan tidak pidana korupsi harus mendapatkan pendelegasian kewenangan dari Jaksa Agung,” kata As’ad Rahim Lubis.
Sebab, KPK sendiri berwenang untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan kejaksaan. Begitupun juga pendelegasian wewenang menuntut dari Jaksa Agung kepada JPU KPK akan berdampak pada independensi KPK dalam pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintah oleh Undang-undang.
“Menimbang, bahwa KPK memiliki kewenangan atribusi untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, maka JPU KPK dalam menjalankan fungsi pra penuntutan dan penuntutan tidak perlu adanya pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10a UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Hakim Asad saat membacakan pertimbangannya.
Setelah menolak eksepsi kedua terdakwa tersebut, Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK untuk melanjutkan persidangan dengan agenda pembuktian hingga putusan akhir.
“Memerintahkan kepada penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara terdakwa dan menghadirkan para saksi,” tegas As’ad Rahim Lubis.