MEDAN, APACERITA – Tim kuasa hukum Drg. EAP resmi melaporkan Rumah Sakit (RS) Santa Elisabeth Medan ke Polda Sumatera Utara (Sumut) atas dugaan tindak pidana kejahatan ketenagakerjaan. Laporan ini dilakukan setelah somasi terkait tuntutan pencairan uang pesangon sebesar Rp 92.345.414 yang dilayangkan pada 15 Agustus 2024 tidak mendapat tanggapan.
Esron J. Silaban, SH, MH, kuasa hukum Drg. EAP, menyampaikan bahwa laporan tersebut telah disampaikan pada Selasa (26/8/2024). Ia menjelaskan, tindakan hukum ini merupakan respons atas ketidakpedulian pihak rumah sakit terhadap hak-hak kliennya. “Pengaduan ini kami lakukan karena tidak adanya itikad baik dari RS Santa Elisabeth Medan untuk menyelesaikan hak-hak klien kami,” ujar Esron kepada wartawan, Rabu (28/8/2024).
Sebelumnya, tim kuasa hukum Drg. EAP mengirimkan somasi yang menuntut pencairan uang pesangon sebesar Rp 92.345.414. Somasi tersebut dikirimkan setelah upaya penyelesaian perselisihan melalui negosiasi bipartit dan tripartit tidak mencapai kesepakatan. Dalam somasi itu, tim kuasa hukum juga mengungkap adanya dugaan manipulasi data upah di BPJS Ketenagakerjaan, di mana upah yang dilaporkan berbeda dengan yang diterima oleh Drg. EAP.
Drg. EAP diketahui telah bekerja di RS Santa Elisabeth Medan sejak 15 Oktober 2008 berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan masa kerja satu tahun. Setelah perjanjian tersebut berakhir, ia tetap bekerja tanpa ada perjanjian baru, yang menurut kuasa hukumnya, secara otomatis mengubah statusnya menjadi pekerja tetap.
Perselisihan mulai muncul pada Agustus 2022 saat Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP) Drg. EAP habis masa berlaku. Selama masa cuti untuk mengurus perpanjangan dokumen tersebut, sejak November 2022 ia tidak lagi menerima gaji. Setelah STR dan SIP diperpanjang, ia kembali bekerja pada Desember 2023. Namun, beberapa hari kemudian, ia menerima surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa honornya akan diubah menjadi Rp 100.000 per hari dengan jadwal kerja dua hari dalam seminggu, yang dianggap tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya.
Tim kuasa hukum Drg. EAP kemudian mengajukan penyelesaian perselisihan melalui bipartit. RS Santa Elisabeth menawarkan pesangon berdasarkan upah tetap bulanan sebesar Rp 2.879.000 yang dikalikan masa kerja. Namun, karena upah ini berada di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Medan sebesar Rp 3.769.082, pesangon tersebut disesuaikan dengan nilai UMK. Drg. EAP menolak tawaran ini karena tidak memperhitungkan komponen tambahan dari tindakan medis yang diterimanya sebelumnya.
Setelah proses bipartit gagal, perselisihan ini dilanjutkan ke tahap tripartit yang difasilitasi oleh Dinas Ketenagakerjaan Kota Medan. Pada 12 Agustus 2024, mediator mengeluarkan surat anjuran agar RS Santa Elisabeth membayar pesangon sebesar Rp 92.345.414. Namun, meskipun jumlah pesangon ini lebih rendah dari tuntutan awal, Drg. EAP menyatakan siap menerimanya demi menyelesaikan konflik. Namun, pihak RS Santa Elisabeth tidak bersedia memenuhinya.
Sementara itu, Direktur RS Santa Elisabeth Medan, dr. Eddy Jefferson Ritonga, saat dikonfirmasi, menyatakan bahwa ia tidak mengetahui secara detail masalah tersebut dan akan berkonsultasi dengan pengacara rumah sakit. Kuasa hukum RS Santa Elisabeth, Betman Sitorus, mengatakan pihaknya akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Medan setelah menolak anjuran dari Dinas Ketenagakerjaan. (nz)