Oleh: Dr Rasminto (Direktur Eksekutif Human Studies Institute & Akademisi UNISMA)
Dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota MPR, DPR, dan DPD RI di Gedung Nusantara, Rabu (16/8/2023), Presiden Jokowi mengungkap persoalan polusi di wilayah budaya. Tema ini diangkat setelah beberapa hari sebelumnya Presiden menyinggung tentang polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Pemerintah lantas menyiapkan berbagai solusi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menanggulanginya.
Seperti polusi udara, “polusi budaya” juga perlu menjadi atensi serius bagi kita dalam menatap 78 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Sebab, dalam kehidupan yang semakin terhubung dan global, polusi tidak lagi hanya merujuk kerusakan lingkungan fisik, tetapi merasuki wilayah budaya, merusak keaslian dan keunikan warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Maka, menjadi sangat menarik fenomena yang dikenal ini sebagai “polusi budaya” yang diangkat dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi.
Menurut Koentjaraningrat (2000), kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu. Sementara itu, menurut KBBI, polusi adalah pengotoran atau pencemaran tentang air, udara, dan sebagainya. Dari arti tersebut, polusi memiliki berbagai macam bentuk, yaitu polusi udara, polusi air, polusi tanah, dan sebagainya. Mąką, merujuk pada istilah “polusi budaya” merupakan sebuah konsep yang mencerminkan dampak negatif dari pertukaran budaya yang tidak seimbang dan dominasi budaya global.
Ibarat polusi pada kondisi fisik lingkungan, seperti polusi udara yang mencemari lingkungan alami, polusi budaya mencemari keberagaman budaya dan identitas lokal. Dengan pertumbuhan teknologi dan media massa, budaya global dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia, meresap ke dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Dalam proses ini, elemen-elemen budaya lokal seringkali tersingkirkan atau diabaikan sehingga keberagaman yang telah ada selama berabad-abad menjadi terancam.
Dampak utama dari fenomena polusi budaya berimplikasi pada persoalan kehilangan identitas nasional dan perubahan nilai dan norma di tengah kemajemukan Masyarakat Indonesia. Kehilangan identitas budaya merupakan fenomena yang menyentuh hati dan jiwa suatu masyarakat ketika akar-akar budaya mereka mulai terancam oleh arus globalisasi yang menggempur. Seperti ombak yang perlahan mengikis pantai, pengaruh luar yang terus mengalir masuk dapat meruntuhkan fondasi nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma yang selama ini menjadi perekat komunitas bangsa Indonesia.
Di tengah lautan informasi dan teknologi, masyarakat sering kali berada dalam dilema antara mempertahankan akar budaya mereka yang kaya atau mengikuti aliran budaya global yang menggoda. Pertanyaan esensial tentang siapa mereka sebenarnya dan bagaimana mereka ingin dikenal di dunia ini menjadi semakin rumit. Suara-suara leluhur yang pernah memberi makna dan tujuan hidup tampak semakin redup dalam sorotan lampu kilauan modernitas.
Perlahan tapi pasti, pusaka-pusaka budaya yang dulu diwariskan dari generasi ke generasi menjadi terlupakan. Tradisi kuno entitas etnis Nusantara yang pernah memupuk rasa persatuan dalam masyarakat sekarang mungkin hanya berdiam diri di lembaran-lembaran buku sejarah. Pakaian tradisional yang memiliki arti dan nilai mendalam diabaikan demi tren mode global yang cepat berubah.
Kehilangan identitas budaya adalah panggilan peringatan bagi masyarakat agar tidak melupakan warisan leluhur. Ini adalah panggilan untuk menghormati dan menjaga nilai-nilai yang membentuknya sebagai individu dan sebagai kelompok. Dalam menghadapi arus globalisasi yang kuat, menjaga “api keberagaman” budaya tetap menyala menjadi tugas tak terelakkan. Sebab, di dalam identitas budaya terdapat cerminan jati diri, akar kepribadian, dan jejak perjalanan panjang suatu komunitas melintasi waktu.
Implikasi lainnya yang terlihat nyata dari adanya polusi budaya adalah perubahan nilai dan norma yang menjadi refleksi dinamika masyarakat yang terus bergerak maju, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang arah yang diambil perubahan tersebut. Saat nilai-nilai dan norma-norma tradisional berbaur dengan arus globalisasi dan budaya pop, pergeseran dalam paradigma sosial dan moral pun menjadi nyata.
Di tengah arus informasi yang mengalir bebas, generasi muda mungkin merasa tertarik untuk mengadopsi gaya hidup dan pandangan dunia yang dianggap modern dan lebih “in”. Konsep sukses, misalnya, mungkin lebih terfokus pada pencapaian material atau popularitas daripada nilai-nilai seperti kejujuran, kerja sama, rasa saling menghormati dan toleransi, atau pengabdian pada komunitas.
Di tengah kompleksitas perubahan ini juga ada ruang untuk menciptakan sintesis antara nilai-nilai tradisional dan perubahan yang sedang berlangsung. Masyarakat dapat memilih untuk mengambil yang terbaik dari kedua dunia, memelihara nilai-nilai yang mendasari keharmonisan dan keadilan sambil membuka diri terhadap gagasan dan perspektif baru.
Perubahan nilai dan norma adalah panggilan bagi refleksi kolektif. Ini adalah kesempatan untuk mengevaluasi apa yang benar-benar berharga bagi masyarakat dan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diartikulasikan dalam dunia yang terus berubah. Apakah suatu nilai dianggap utama karena keberlanjutan, rasa sosial, atau kemajuan teknologi, itu adalah pertanyaan yang harus dijawab secara kolektif.
Perubahan nilai dan norma adalah fenomena alami dalam evolusi masyarakat. Pergeseran ini dapat menimbulkan tantangan dan ketidakpastian juga menciptakan peluang untuk inovasi, pembaruan, dan pertumbuhan. Dalam menghadapi perubahan tersebut, menjadi penting kita refleksikan sebagai bangsa yang telah meraih kemerdekaannya genap 78 tahun pada hari ini. Usia kemerdekaan ini bukan usia yang tidak muda lagi sehingga fenomena polusi udara menjadi renungan dań evaluasi bersama bagi kita bahwa tantangan nyata adalah pada persoalan adab sebagai sebuah bangsa merdeka. (*)