Penulis: Kania Sefrita S.Pd
RENDAHNYA persentase perempuan di DPR pada pemilu 1987 (13,0%) kemudian di tahun 1992 (12,5%) dan 1997 (10,8%) serta pada pemilu 1999 yang persentasinya semakin mengecil hanya 9,0 % menjadi titik awal organisasi-organisasi perempuan meningkatkan Gerakan keterwakilan perempuan dalam bentuk kuota 30% dalam pemilu demokratis.
Hasilnya terlihat pada Pasal 65 UU No.12 Tahun 2003 Ayat 1 yang untuk pertama kalinya menerapkan kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam susunan calon anggota Legislatif.
Tahun 2024 menjadi tahun kedua dilaksanakannya pemilu serentak setelah sebelumnya dilakukan Pemilu serentak pada tahun 2019.
Berkaitan dengan hal ini keterwakilan perempuan dalam pemilu di Lembaga legislatif diharapkan terus meningkat dari hasil yang sudah didapat di Tahun 2019.
Dalam hal Lembaga penyelenggara Pemilu 30% keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu masih terus diwujudkan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kendati masih minim namun ada akses masuk khusus bagi perempuan untuk masuk di KPU dan Bawaslu tingkat pusat, provinsi, kab/kota yakni melalui UU No 7 Tahun 2017 pasal 10 ayat (7) dan pasal 92 ayat (11).
Akses ini tidak serta merta membuat angka persentasi menjadi tinggi, keterwakilan perempuan di ranah penyelenggara masih sangat kurang bahkan tidak pernah menyentuh angka 30%.
Data yang dihimpun KPU berdasarkan SK KPU Nomor : 511/PP.06/05/KPU/V/2018 tentang penetapan anggota KPU Provinsi Periode 2018 – 2023 dan SK Nomor : 588/PP.06-PU/05/KPU/VI/2018 tentang penetapan anggota KPU Kota dan Kabupaten periode 2018-2023.
Komisioner KPU Pusat periode 2017-2022 : 6 laki-laki (85,7%) dan 1 Perempuan (14,3%). Komisioner KPU Provinsi 2017-2022 : 146 laki-laki (78,9%) dan 39 perempuan (21.1%). Komisioner KPU Kabupaten/Kota periode 2017 – 2022 : 2.101 laki-laki (82,7%) dan 441 perempuan (17,3%).
Sedangkan untuk Komisioner Bawaslu pada periode 2017-2022 juga bernasib sama. Komisioner Bawaslu Pusat 2017-2022 : 4 laki – laki (80%) dan 1 perempuan (20%). Komisioner Bawaslu Provinsi 2018-2023 : 150 laki-laki (79,8%) dan 38 perempuan (20,2%). Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2018-2023 1.599 laki-laki (83,5%) dan 315 perempuan (16,5%).
Hal ini membuat keterwakilan perempuan masih sangat rendah di Lembaga penyelenggaraan Pemilu. Padahal perempuan diharapkan menjadi pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan.
Faktor penghambat yang paling mendasar terhadap perempuan adalah adanya diskriminatif gender karena perempuan dianggap tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman yang mumpuni dalam penyelenggara pemilu.
Budaya patriarki juga sangat erat dikaitkan kepada kaum perempuan serta sempitnya ruang gerak dan akses informasi yang didapat oleh perempuan.
Oleh karena itu, perempuan harus didorong untuk mendapatkan posisi sebagai penyelenggara pemilu melalui pengadaan pelatihan kepemiluan dan penguatan keterampilan perempuan itu sendiri.
Agar terciptanya keadilan dan peluang yang setara bagi perempuan untuk mempengaruhi proses politik dengan perspektif perempuan. (Penulis adalah seorang pengajar)