JAKARTA, APACERITA – Dua advokat, Herdi Munte SH MH asal Sumatera Utara (Sumut) dan Missiniaki Tommi SH MH asal Sumatera Barat (Sumbar) serta pendamping Jekson Joab Situmeang SH secara resmi mengajukan permohonan uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pemilukada) ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (17/10/2024). Permohonan tersebut bertujuan agar suara kosong (Blank Vote) diakui sebagai suara sah dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Pengajuan ini mencakup uji materi terhadap beberapa ketentuan, yaitu Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengenai Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015; serta Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015. Para pemohon menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD NRI 1945.
“Kami mengajukan permohonan ini karena ketentuan yang ada saat ini tidak mengakomodasi hak pemilih untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pasangan calon yang ada. Suara kosong dianggap tidak sah, padahal itu merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang seharusnya diakui dalam proses demokrasi,” kata Herdi Munte dalam keterangannya.
Menurut para pemohon, pengakuan terhadap suara kosong sebagai suara sah penting untuk memberikan pilihan alternatif bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon yang ada. Mereka mengusulkan agar di dalam surat suara di daerah yang memiliki lebih dari satu pasangan calon, disediakan kolom kosong yang dapat dicoblos oleh pemilih. Dengan begitu, pemilih dapat mengekspresikan ketidakpuasan mereka tanpa harus golput atau mencoblos secara tidak sah.
Para pemohon juga menyebutkan bahwa pengaturan mengenai pengakuan suara kosong sebagai suara sah telah diterapkan di beberapa negara, seperti Kolombia dan Ukraina. Di Kolombia, misalnya, suara kosong atau “voto en blanco” yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan dapat memaksa diadakannya pemilihan ulang dengan calon yang berbeda. Mereka berharap agar mekanisme serupa dapat diterapkan di Indonesia, terutama dalam menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.
Permohonan ini didasarkan pada pelanggaran terhadap sejumlah prinsip konstitusi, termasuk Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, Pasal 18 ayat (4) mengenai pemilihan kepala daerah yang harus dilakukan secara demokratis, serta Pasal 28D ayat (1) yang menjamin hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Menurut para pemohon, tidak adanya pengakuan terhadap suara kosong mengakibatkan ketidaksetaraan dalam hukum dan merampas hak pemilih untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap calon yang dianggap tidak mewakili kehendak rakyat.
Selain itu, para pemohon juga menyoroti tingginya angka golput dalam beberapa pemilihan kepala daerah sebagai indikasi kurangnya pilihan yang mewakili aspirasi rakyat. Mereka menilai bahwa ketidakpuasan ini perlu diakomodasi melalui pengakuan suara kosong sebagai pilihan sah, sehingga pemilih tetap dapat berpartisipasi secara aktif dalam pemilu, meskipun tidak setuju dengan kandidat yang ada.
Usai mendengar pembacaan permohonan, majelis hakim panel pada Mahkamah Kosntitusi yang diketuai Daniel Yusmic memberikan kesempatan kepada dua hakim anggota untuk memberikan nasihat atau masukan atas permohonan tersebut agar diperbaiki guna penyempurnaan permohonan uji materi tersebut. (nz)