Penulis : Zulkifli Lumbangaol (Ketua PBHI SUMUT)
PEMILIHAN Presiden tahun 2024 terhitung masih lama. Namun partai-partai sudah melakukan pemanasan mesin partainya, yang kemudian berlanjut pada konsolidasi antar partai dalam membangun koalisi untuk menentukan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana mekanisme Parlemen Trhesold atau ambang batas 20% dari jumlah Kursi DPR atau 25% perolehan Suara Nasional. Hingga adanya partai yang sudah menetapkan calon presiden untuk kemudian “dijual” untuk menggaet partai lain dalam satu koalisi. Demikian para pengamat politik dan demokrasi serta lembaga survey telah merilis elektabilitas tokoh tokoh yang menjadi calon presiden. Dan menjadi salah satu alternatif rujukan oleh koalisi partai untuk menentukan pasangan calon presiden/wakil presiden 2024.
Adapun dari koalisi partai tersebut diharapkan juga tidak terjadi 2 poros koalisi yang melahirkan hanya 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden saja. Hal itu sangat dihindari karena jika bercermin pada pemilu presiden/wakil presiden di Tahun 2019 yang menimbulkan polarisasi dan terbelahnya masyarakat Indonesia. Terjadinya polarisasi akibat politik identitas sara dijadikan sebagai strategi oleh pasangan calon untuk merebut suara rakyat. Kemudian melahirkan 2 kelompok masyarakat yang disebut dengan label cebong dan kampret sebagai interpretasi dari kedua pasangan calon presiden/wakil presiden. Yang oleh buzzer dijadikan bahan untuk mengadu domba supaya saling menyerang secara langsung dan tidak langsung secara nyata dan di media sosial. Adanya pelabelan cebong dan kampret menjadi contoh adanya saling serang satu sama lain oleh masyarakat Indonesia akibat berbeda pilihan. Usai pilpres 2019 polarisasi belum juga selesai di masyarakat sebagai akar rumput, padahal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang kalah dalam pertarungan Pilres masuk kedalam jajaran kabinet pemerintahan.
Polarisasi yang terjadi pada pilpres tahun 2019 diprediksi akan berlanjut ke pilpres 2024 hingga terjadinya pertentangan antar anggota kelompok dan masyarakat yang berbeda partai politik dan kepentingan. Adapun kemungkinan diprediksi lahirnya 3 pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dari hasil koalisi partai yang ada sekarang ini. Yang kemudian potensi Konflik sosial akan terjadi sejak proses pendaftaran peserta pemilu, pelaksanaan pemilu dan pasca pemilu karena pemilu merupakan sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kelompok yang ingin merebut kekuasaan akan mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki, begitu pula kelompok yang sedang berkuasa dengan calon penerusnya, akan mati-matian mempertahankan kekuasaan, jika perlu menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan. Kalau kelompok tersebut atau tiap-tiap partai politik bersaing keras untuk merebut kemenangan dan rakyat sebagai subyek sekaligus obyek ikut berperan dan bahkan berhadap-hadapan di lapangan dalam perebutan kekuasaan, maka potensi terjadi konflik sosial sangat besar.
Isu Konflik
Merujuk dari berbagai sumber, bahwa sejumlah isu akan menjadi faktor panas penyebab konflik yang terjadi saat pilpres 2024 diantaranya, Pertama, berdasarkan faktor internal Indonesia, yang meliputi isu-isu kontemporer seperti isu politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan dan pertahanan. Kedua, faktor eksternal, yaitu geopolitik internasional seperti persaingan antara Amerika Serikat dengan China dalam memperebutkan Indonesia untuk mengeruk Sumber daya Alam yang dimiliki. Adanya kedua kekuatan besar dunia yaitu Amerika Serikat dan China, akan ikut berperan melalui jaringan intelejen pada pemilu Presiden-Wakil Presiden Indonesia untuk memastikan bahwa Presiden terpilih Indonesia 2024 bisa pro kepada mereka atau setidak-tidaknya bisa berkolaborasi.
Adanya isu politik yang menjadi sorotan utama penentu terjadinya konflik di Indonesia saat Pemilu 2024 yaitu, Pertama, politik identitas yang bernuansa SARA serta hubungan Indonesia-China yang sangat meningkat. Politik identitas secara sosiologis dalam negara demokrasi tidak mungkin hilang dan akan selalu dimanfaatkan dalam setiap pertarungan politik secara terbuka atau diam-diam. Kedua, ekonomi yang gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menumpuknya utang. Ketiga, masalah sosial seperti kemiskinan, kesenjangan sosial yang semakin melebar, pribumi yang semakin termarjinalisasi dan sebagainya. Keempat, masalah hukum seperti penegakan hukum yang tumpul ke atas dan ke para pendukung penguasa, sementara tajam ke bawah dan kepada mereka yang dianggap lawan politik. Serta masalah korupsi yang masih merajalela. Kelima, masalah keamanan dan pertahanan sangat mengganggu adanya Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang banyak membunuh anggota TNI-POLRI dan terus berjuang untuk merdeka dari Indonesia akan mengemuka dalam kampanye pemilu 2024. Kemudian efek perang antara Rusia dengan Ukraina dan kondisi ekonomi, yang dampaknya telah memberi pengaruh negatif bagi bangsa Indonesia dengan meningkatnya segala macam kebutuhan pokok, sehingga rakyat banyak mengalami kesulitan. Kondisi ini telah mendorong demonstrasi mahasiswa di berbagai penjuru tanah air yang juga diikuti masyarakat dan akan memuncak pada Pemilu 2024. Semua persoalan yang dikemukakan berpotensi memicu terjadinya konflik sosial, baik yang berbentuk vertikal maupun horizontal.
Dari isu-isu penyebab konflik tersebut, maka pada pilpres 2024 disinyalir akan menimbulkan kekerasan. Sebagaimana merujuk pada teori Albert Ghaltung yang menggambarkan bentuk dari kekerasan dari suatu konflik. Adapun diantaranya yaitu kekerasan fisik/langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Yang kemudian pada pilpres 2024 dapat diuraikan bahwa terdapat kekerasan yang akan terjadi di Indonesia. Dalam hal ini diprediksi bahwa daerah atau provinsi yang dominan terjadi kekerasan akibat konflik, diantaranya ,DKI Jakarta, yaitu kekerasan fisik/langsung yang terjadi dikarenakan akibat adanya benturan antar kelompok pendukung saat melakukan kampanye; aksi demonstrasi dari mahasiswa atau buruh yang mungkin ditunggai oleh kepentingan salah satu pasangan calon yang berakhir dengan tindakan represif oleh aparat keamanan; Lalu adanya kekerasan struktural yang disebabkan oleh adanya kekuatan politic dari pejabat pemerintah provinsi dan pusat untuk melakukan penekanan pemilih pada pejabat struktural di pemerintahan; Selanjutnya, kekerasan kultural yang terjadi disebabkan oleh benturan antar kelompok pendukung yang masing masing membawa identitas dan bahkan sara, mengingat Pilgub DKI Jakarta yang berhasil dengan menggunakan politik identitas sara untuk merebut kekuasaan hingga merembes ke Pilpres 2019;
Jawa timur, kekerasan yang terjadi yaitu kekerasan kultural, karena disinyalir penggunaan politik identitas agama yang masih sarat dan masih ada. Buktinya pada saat pilgub jatim adanya pertarungan calon yang masih mengaitkan pada status background keagamaan masing masing; Banten, Kekerasan kultural yang disebabkan karena politik identitas sara yang digaungkan oleh para kelompok pendukung untuk mengadu domba kelompok mayoritas dan minoritas dengan iming iming rumah ibadah dll; Riau, Kekerasan dapat berupa kekerasan secara langsung dimana mengingat pada tahun 2019 terjadinya sweping yang dilakukan oleh adanya kelompok tertentu terhadap salah satu pendukung calon presiden yang berkunjung ke Riau. Kemudian kekerasan Struktural yang terjadi akibat ketimpangan ekonomi dan politik oleh pemerintahan provinsi dengan pusat. Dan tingginya konflik agraria secara vertikal antara masyarakat dengan pemerintah dan Korporasi yang melibatkan aparat keamanan negara.
Papua,secara kekerasan fisik atau langsung jelas terjadi karena adanya gerakan spratisme OPM. Dan dapat menjadi gawean dari salah satu kelompok pendukung untuk merebut suara dengan menunggangi dan menginisiasi gerakan gerakan aksi demonstrasi menuntut papua merdeka. Lalu kekerasan struktural terjadi karena kurang tersentuhnya rasa keadilan pembangunan oleh negara, walaupun masa Resim Prsiden Jokowi sudah mendapat perhatian, namun akan tetap ditunggani dengan janji janji fokus pembangunan yang berkelanjutan ; Aceh, Hampir sama dengan papua, hanya saja di Aceh kekerasan struktural menjadi dominan karena ketimpangan dan pembangunan yang masih minim, kemudian kurang terbuka nya masyarakat Aceh akan politik nasional, sehingga adanya disentegrasi antara masyarakat lokal dengan pendukung calon yang datang dari luar Aceh apalagi pendukung yang kurang mendominasi secara kepartaian di Aceh; Selanjutnya kekerasan kultural terjadi akibat politik identitas yang dijadikan sebagai alat merebut suara rakyat Aceh serta adanya budaya politik yang berbeda.
Faktanya disinyalir hampir seluruh daerah provinsi di Indonesia akan terjadi kekerasan akibat dari konflik pada pilpres 2024 seperti kekerasan struktural dan kultural.Kekerasan struktural dapat terjadi akibat ketimpangan sosial dan pembangunan antara lokal dan pusat, kemiskinan, dan kebijakan politik yang secara sistematis, masif dan terstruktur oleh kekuasaan di pusat dan daerah untuk mengintervensi pilihan para ASN/ Honorer terhadap satu calon yang masih berkesinambungan dengan rezim penguasa. Lalu adanya tekanan struktural terhadap pelaksana pemilihan umum untuk mengamankan pasangan calon yang sudah “dititipkan” sehingga berakibat pada tekanan mental dan psikologis yang juga dibarengi dengan kelelahan fisik. Sebagaimana pada tahun 2019, banyaknya Paniita pemilihan dari tingkat desa hingga provinsi yang meninggal dunia akibat kelelahan dan tekanan. Bisa disebut pemilu 2019 adalah pemiliu yang menimbulkan banyak nya korban jiwa, dan disinyalir bisa terjadi di tahun 2024 pemilu serentak yakni Pemilihan Presiden/wakil presiden, DPR RI,DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten. Kemudian kekerasan kultural yang politik identitas sara, kesukuan dan pribumi yang dijadikan alat mempengaruhi suara rakyat pemilih. Selain itu juga adanya fanatisme kepartaian yang berlebihan dari kader kader partai di daerah yang mendominasi untuk melemahkan koalisi partai pendukung calon presiden/wakil presiden
UPAYA RESOLUSI
Berdasarkan fakta dan kemungkinan tersebut perlunya resolusi dini yang harus dipikirkan dan dipersiapkan secara bersama oleh para stakeholder. Agar pelaksanaan pemilu serentak 2024 berlangsung secara demokratis tanpa menimbulkan konflik dan kekerasan yang melahirkan korban jiwa terhadap masyarakat Indonesia akibat perebutan kekuasaan. Sebab pemilu adalah pesta demokrasi oleh rakyat untuk memilih pemimpin nasional yang dengan ide dan gagasan melanjutkan pembangunan di Indonesia baik dari infrastruktur hingga sumber daya manusia yang unggul dan maju. Jika pesta demokrasi sebaliknya menimbulkan konflik dan kekerasan bahkan menimbulkan korban jiwa terhadap masyarakat Indonesia, maka baiknya pemilu tidak dilaksanakan dan mencari alternatif lainnya untuk memilih pemimpinan nasional dengan damai tanpa konflik.
Adapun upaya upaya dapat dilakukan dengan mengingatkan kembali para elit elit politisi, partai dan tokoh nasional untuk bersikap negarawan dan mengedepankan pemilu damai tanpa membawa politik identitas sara dan kesukuan sebagai agenda strategis dalam pemenangan kontestasi. selain itu juga menerapkan kepada tim sukses dan koalisi partai pendukung untuk berkontestasi secara elegan dan negarawan, bukan seperti anak kecil yang dominan menggunakan tindakan tindakan pembodohan yang berujung pada konflik dan kekerasan. Kemudian melakukan edukasi dini terhadap masyarakat Indonesia supaya tidak mudah terpengaruh akan isu isu yang menimbulkan konflik dan kekerasan. Upaya lain juga dapat dilakukan dengan pembentukan tim satgas pengamanan Pemilu nasional dan daerah secara Adhoc untuk melakukan edukasi dan pencegahan konflik dilengkapi dengan SOP penangananan keamanan menggunakan pendekatan restoratif sebagai upaya penyelesaian konflik tanpa menimbulkan kekerasan dan korban jiwa. (*)