apacerita.id, Medan – Direktur PT Agung Cemara Realty (ACR) Mujianto mengaku tidak tahu menahu soal proses kredit yang diajukan Canakya Suman Direktur PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA) Rp 39,5 miliar di sebuah bank pemerintah yang akhirnya menjadi bermasalah.
“Saya tidak tau proses dan penggunaan kredit yang dimohonkan Canakya Suman,” kata Mujianto dalam pemeriksaan terdakwa dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan diketuai Immanuel Tarigan, Jaksa Penuntut Umum ( JPU) Isnayanda, dkk serta Surepno Sarpan, Penasihat Hukum Mujianto, Rabu (19/10/2022).
Menurut Mujianto, Canakya baru dikenalnya melalui perantara marketing PT ACR. Saat itu Canakya berniat membeli tanah PT ACR seluas 16.000 m2 senilai Rp 45 miliar dengan cara mencicil. Tapi belakangan hutang Canakya tersebut sudah dibayar lunas dan Mujianto pun telah menyerahkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No 1422 sebagai dasar kepemilikan.
Menurut Mujianto, belakangan baru diketahui bahwa Canakya rupanya telah mengajukan kredit Rp 39,5 miliar di bank BUMN di Medan untuk melanjutkan pembangunan perumahan Takapuna Residen di Jalan Kapten Sumarsono Medan. Tapi Canakya akhirnya tersandung masalah hukum karena tak mampu melunasi sisa hutangnya mencapai Rp 14 miliar.
“Saya baru tau semuanya, setelah Canakya diproses hukum pak hakim,” ujar Mujianto yang saat itu mengenakan kemeja putih dan celana hitam tersebut.
Ternyata 93 SHGB PT ACR dijadikan agunan Canakya dan belum dibalik nama ke PT KAYA untuk mendapatkan kredit Rp 39,5 miliar. Padahal dari pencairan kredit Canakya tersebut, Mujianto mengaku tidak mendapatkan fee atau keuntungan. Tapi Mujianto mengakui Canakya telah membayar seluruh hutang pembelian tanah PT ACR yakni Rp 14 miliar melalui Bank Sumut dan Rp 9,8 miliar melalui Bank Mestika.
“Itu pun saya tau setelah adanya proses hukum yang melilit Canakya,” ujar orang pertama di PT ACR tersebut.
Ditanya JPU Isnayanda, kenapa Mujianto masih “membantu” Canakya seperti membuat Surat Kuasa Menjual ( SKM) dan Personal Garantie (PG) menurut Mujianto bahwa dokumen surat yang dibuat oleh Notaris Elviera tak seluruhnya dimengerti maksud dan tujuannya.
“Saat itu pihak bank, notaris dan Canakya Suman menemui saya untuk meneken sejumlah dokumen. Saya hanya meneken saja tanpa tau isinya,” ujar Terdakwa Mujianto.
Notaris Elviera pun mengakui dokumen Mujianto yang dibuatnya tak digunakan untuk menanggulangi hutang Canakya Suman di bank pemerintah tersebut.
” Ternyata dokumen yang saya buat untuk pak Mujianto tidak dipergunakan, karena Canakya Suman selaku debitur tak sanggup membayar pajak dan Balik nama SHGB PT ACR ke PT KAYA yang menjadi agunan di bank pemerintah tersebut,” kata Notaris Elviera menjawab pertanyaan Surepno Sarpan Penasihat Hukum Terdakwa Mujianto.
Sebenarnya Mujianto berinisiatif menanggulangi kredit macet Canakya Suman yang tersisa Rp 13,4 miliar tersebut. Hanya saja, kata Mujianto terlalu banyak persoalan Canakya dengan pembeli rumah. “Kalau kredit macet ini saya tutupi akan muncul persoalan baru lagi,” ujarnya
Ingin Mencicil
Pada persidangan terdakwa Mujianto sepekan lalu, saksi Canakya membeberkan niatnya untuk melunasi hutangnya dengan cara mencicil. “Saya berniat mencicil tapi pihak bank tidak mau,” ujar Canakya Suman yang dihadirkan secara virtual dari balik jeruji Rutan Tanjung Gusta Medan.
Menurut Canakya, dirinya tak mampu membayar hutangnya karena keburu berada didalam tahanan. “Saya tak mampu berusaha lagi selama dalam tahanan,” ujarnya. Canakya Suman sebelumnya divonis 4 tahun penjara karena menggelapkan SHGB yang menjadi agunan di bank dan kini tersandung korupsi Rp 39,5 miliar
Sebelumnya Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPKP) Sumatera Utara (Sumut) Djanaka Radji menilai , Canakya Suman paling bertanggung jawab kredit macet yang berpotensi merugikan negara Rp 39,5 miliar
Menurut Radji, berdasarkan audit dilakukan terhadap Canakya dan pihak bank ditemukan adanya pelanggaran prosedur dalam proses, pencairan dan penggunaan kredit sebesar Rp 39,5 miliar tersebut. “Kami menilai proses permohonan kredit Canakya Suman di bank pemerintah itu tidak ada sehingga merugikan negara Rp 39,5 miliar,” ujar Djanaka Radji.
Radji pun tak menampik dalam audit yang dilakukan auditor BPKP juga ditemukan adanya pembayaran Canakya. “Tapi kami tak bisa sebutkan itu, biarlah nanti hakim menilai perbuatan Canakya tersebut,” ujar Radji. (nz)